Hati Tulus di stasiun kota (2)




Saat Dina sedang mencari buku fisikanya di stasiun tiba-tiba ada yang berteriak kearahnya, awalnya ia kira itu bukan teriakan untuknya, tetapi suara itu makin mendekat kepadanya.
“heii!!!” teriak seorang anak ke arahnya.
Dina mendengar ada orang yang memanggilnya, ia sangat benci diganggu saat sedang serius hatinya kesal, rasanya ia ingin pergi dan mengacuhkan orang yang memanggilnya, saat ia melihat kearah orang yang memanggilnya. ‘ya tuhan, dia kan yang kemarin, anak berpakaian kumal itu!, ada masalah apa lagi ini?’ tanyanya dalam hati, anak penghitung receh itu semakin dekat kearahnya, ia semakin bingung apakah ia harus pergi atau membalas teriakan anak itu, ia hanya terdiam di tempat sambil melihat jelas langkahan anak itu.
“bukuku! Itu buku fisikaku! Iya benar” teriaknya saat melihat anak itu menghampirinya.
‘tapi kenapa buku itu ada di dia? Apakah ia mengambilnya ketika aku di kereta?’ banyak Tanya di dalam hatinya, rasa bahagia bercampur kesal ada pada Dina, bahagia karena ia sudah menemukan bukunya, kesal karena jika anak berpakaian kumal itu tidak mengambil bukunya, ia tidak usah bersusah payah pergi kesini.
***
Ghina yang berlari-lari menuju anak sekolah yang kehilangan buku fisikanya itu masih berteriak, ia tidak mau berlama-lama menyimpan barang yang bukan miliknya ini, walaupun ia sangat ingin memilikinya. Akhirnya ia pun sampai tepat di depan pemilik buku ini.
“hei, ini buku kamu kan? Aku ingin mengembalikannya” jelas Ghina.
“kenapa buku ini ada di kamu! Kamu mengambilnya ya saat kemarin didalam kereta!” jawab dengan marah si anak berpakaian rapih ini.
Ghina terdiam, ia sabar, ia tahu yang dia lakukan adalah hal yang baik, sebaiknya ia menjelaskan kepada anak ini dengan jelas agar anak ini tidk salah paham.
“kemarin saat kamu turun dari gerbong kereta, buku ini tertinggal di kursimu, aku langsung mengambilnya dan langsung ingin memberikannya kepadamu, tetapi pintu gerbong sudah tertutup.” Jelas Ghina.
“benarkah? Jangan bilang ini hanya alasanmu saja!” anak itu masih menjawab dengan nada marah.
Ghina bingung menjelaskannya bagaimana kepada anak ini, lalu ia mempunyai ide untuk mengajaknya berjalan di pinggir rel distasiun itu, agar anak itu bisa sedikit tenang.
“ayo ikut aku.. tenang saja hanya berjalan di sekitar sini saja” ucap Ghina.
“oh iya, namamu siapa? Aku Ghina” lanjut Ghina
“untuk apa kamu menanyakannya?” jawab anak itu, wajahnya masih terlihat kesal.
“aku hanya bertanya, agar aku bisa santai berbicara denganmu, tapi kalu tidak ingin memberi tahu juga tidak apa-apa, jadi begini kemarin sore aku baru habis menghitung uang hasil mengamenku di ujung sana” sambil menunjuk ke sudut stasiun kereta.
Anak yang sadari tadi marah ini wajahnya mulai biasa, ia terdiam lalu lanjut berbicara.
“baiklah, namaku Dina, aku melihatmu kemarin, ternyata kamu adalah pengamen?”
“yap Dina, memang aku adalah pengamen, sejak aku kecil aku hidup sendiri tidak terurus oleh orang tuaku, aku berusaha mencari uang untuk makan sehari-hariku dengan mengamen. Saat kemarin aku melihat kamu yang berpakaian rapih itu, aku sangat senang melihatmu, berpakaian rapih, menggendong tas ransel, memegang sebuah buku, lengkap sudah hidupmu, sudah bisa bersekolah dengan nyaman”
“mengapa kamu berkata seperti itu? Apakah karena itu kamu mengambil bukuku?” potong Dina penuh Tanya.
“mengapa? Jawabannya karena aku tidak bisa bersekolah sepertimu, memegang buku sepertimu, dan jika kau tahu apa sebenarnya impianku, impianku adalah bersekolah, makanya sejak aku melihatmu aku menggambarkan dirimu itu adalah aku. Kalau soal bukumu, aku sama sekali tidak ada niatan untuk mengambilnya, hanya saja aku tahu kalau buku itu sangat penting untuk pelajar, makanya aku dating kesini menunggumu untuk mengembalikannya..” jelas Ghina
“mengapa kamu tidak mencari beasiswa untuk bersekolah?” Tanya Dina kembali.
“aku adalah anak jalanan, tidak mengerti apa dan bagaimana cara mendapatkan beasiswa, atau yang lainnya, jika aku mendapatkan beasiswa juga, uang untuk membeli alat tulis dan lainnya juga menggunakan uang, sejak dulu aku selalu menabung dari hasil mengamen, aku juga tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, tidur selalu menumpang dipinggiran toko, bahkan aku pernah tidur dipinggir jalan.” Cerita Ghina
Dina terdiam, ia tiba-tiba tersadar dan teringat, bahwa ia pernah bermimpi tentang Ghina.
“Ghina, aku baru ingat aku pernah memimpikan kejadian distasiun ini, kamu datang kepadaku dan berkata, alangkah indahnya bisa bersekolah sepertimu” kata Dina
“benarkah? Mimpimu benar, aku memang ingin berkata seperti itu kepadamu, nanti sebelum aku ceritakan berbagai macam anak jalanan yang belum bisa bersekolah, bukan hanya aku tapi juga ada yang lain, maka dari itu alangkah indahnya bisa bersekolah sepertimu, bersyukurlah, gunakan kesempatanmu dengan sebik-baiknya, jangan sepertiku yang tak mengerti cara mendapatkan beasiswa atau sebagainya..”                        
Dina tertunduk, ia seperti sadar sudah banyak yang ia dapatkan selama ini, betapa sedihnya anak-anak yang tidak bisa bersekolah diluar sana, sejak itu ia berjanji pada dirinya akan selalu membantu Ghina, dan anak-anak jalanan yang lainnya.
“maafkan aku ya sudah berprasangka buruk terhadapmu, mulai sekarang aku akan membantumu untuk bersekolah, aku juga akan berjanji selalu bertemu denganmu setiap pulang sekolah di stasiun ini. Bila perlu aku akan bilang kepada orang tuaku untuk bisa menumpangkanmu tidur dirumahku. ” Janji Dinda kepada Ghina.
***
Semenjak hari itu Dina berusaha terus menolong orang lain, lomba menari tingkat nasional yang ia ikuti di menangkan oleh sekolahnya, sejak ia lebih suka menolong orang lain urusan yang dilalui olehnya terasa menjadi lebih mudah, dan sekarang Ghina sudah menjadi anak angkat orang tua Dina, dan mereka berdua sudah menjadi saudara.
Dan rel di stasiun itu selalu menjadi tempat renungan Dina, sore hari mereka berdua datang ke tempat itu.
“terima kasih Dina, aku bingung harus membalas kebaikan keluargamu dan kamu dengan apa, sekali lagi terimakasih Dina” kata Ghina.
“sama-sama, aku juga berterima kasih kepadamu, karena kamu sudah menyadarkanku, yang pertama menolongku adalah kamu, kamu yang duluan berniat baik kan mengembalikan buku fisikaku, kita berdua saling membantu.” jawab Dina
Mereka berdua tersenyum melihat ke atas langit. Menolong membukakan kesadaran bagi mereka berdua terutama bagi Dina, menolong dengan ikhlas dan tanpa pamrih merupakan derajat kebaikan tertinggi seseorang. Alangkah indahnya jika semua orang di dunia ini bisa saling membantu tanpa pamrih dan dengan hati yang tulus, pasti tak ada lagi keterpurukan yang dimiliki oleh mereka-mereka yang membutuhkan pertolongan.


-SELESAI-

by:rmf

rahmamaghfira

2 komentar:

  1. firaa cerpennya keren banget XD template blognya jg keren, boleh tuh buat blog jurnal :v wkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maaf baru bales Salma!, udh lama banget ya komennya, makasih ya xD, blh nih buat blog jurnal , wkwk

      Hapus

www.lowongankerjababysitter.com

Instagram